“Dari Sabang sampai Merauke, empat perkataan ini bukanlah sekadar satu rangkaian kata ilmu bumi. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar menggambarkan satu geografische begrip. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar satu geographical entity. Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan. Ia adalah satu national entity. Ia adalah satu kesatuan kenegaraan, satu entity yang bulat kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, satu kesatuan ideologi, satu ideological entity yang amat dinamis. Ia adalah satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun, satu entity of social consciousness like a burning fire. Oleh karena itu, tugas menegakkan kedaulatan bangsa adalah peran dari seluruh komponen bangsa.” (Pidato Presiden Soekarno HUT RI tahun 1963)
Pertanyaan yang timbul dari alinea di atas adalah apakah negara kita mempunyai visi yang tepat dan efektif saat ini dan di masa yang akan datang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita? Pertanyaan ini menstimulir kita untuk mampu menggali dan memahami kekuatan nasional. Konflik perbatasan telah menjadi isu nasional, yang kini menjadi bahan pembicaraan tukang becak sampai penguasa istana. Semuanya turut berkomentar, namun apakah hasilnya?
Semoga diplomasi tidak berlangsung lama. Akan lebih pahit lagi apabila kita kalah dalam diplomasi. Menunggu dan menunggu. Hasil diplomasi memang tidak bisa secepat membuat bubur kacang ijo, tapi apakah harus memerlukan pemikiran serumit membuat roket ke angkasa? Negara tersebut sudah jelas–jelas salah karena tidak mematuhi perundingan bersama yang telah disepakati kedua belah pihak yang kemudian dilanggarnya.
Diplomasi Harus Diimbangi Kekuatan Militer
Seruncing apapun diplomasi tanpa didukung dengan kekuatan militer yang kuat akan tumpul. Perkembangan militer kita tidaklah sebobrok yang dibayangkan negara maju. Bila kita berkaca ke masa-masa 1960-an, seperti pada era konflik dengan Belanda dalam perebutan kembali Irian Barat di awal 1960-an, maka dapat kita lihat bahwa kekuatan angkatan perang dan mobilisasi umum lah yang menjadi salah satu penentu perginya Belanda dari wilayah itu. Tulang punggung kekuatan militer Indonesia pada masa itu antara lain 1 skadron pesawat pengebom strategis Tu-16KS, serta berbagai jenis pesawat tempur MiG, mulai dari MiG-15, MiG-17, MiG-19, bahkan MiG-21. Kekuatan sayap-sayap tanah air ini sudah merupakan alat utama sistem senjata udara yang diperhitungkan negara manapun di dunia pada masa itu, termasuk negara seperti Belanda. Ini masih ditunjang lagi dengan kekuatan armada tempur yang dimiliki oleh Angkatan Laut RI saat itu, misalnya sejumlah kapal selam, kapal perusak, hingga kapal penjelajah yang kesemuanya dalam keadaan siap-siaga dan berkemampuan penuh.
Domain kekuatan nasional adalah postur pertahanan yang meliputi 3 (tiga) aspek utama, Kemampuan (Capability), Kekuatan (Force) dan Gelar (Deployment). Menurut Oxford Dictionary of U.S. Military, Kemampuan atau Capability adalah forces or resources giving a country or state the ability to undertake a particular kind of military action (kekuatan atau sumber daya yang memberi kemampuan bagi sebuah negara untuk menjalankan tindakan militer); Kekuatan atau Force adalah the fighting elements of all defence structure (elemen-elemen tempur dari keseluruhan struktur pertahanan); dan Gelar, yakni tata sebar dari kekuatan. Ketiga aspek tersebut harus bersinergi dalam mendukung pertahanan negara, sedangkan beberapa instrumen dalam menentukan kekuatan suatu negara menurut Hans J. Morgentahu dalam Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace adalah: Geografi, Sumber Daya Alam, Industri, Militer, Populasi, Karakter Nasional, Semangat Nasional, Kualitas Diplomasi, dan Kualitas Pemerintah. Kesembilan instrumen inilah yang digunakan oleh suatu negara baik negara berkembang maupun negara maju untuk menunjukkan potret dirinya, untuk menunjukkan seberapa kuat negara tersebut. Negara maju seperti AS sangat membanggakan teknologinya yang didukung dengan kekuatan militernya, begitu pula dengan negara berkembang seperti India, RRC, Brazil dan lainnya membanggakan dan menunjukkan eksistensi mereka di dunia teknologi dengan didukung pula oleh kekuatan militer sebagai wujud dari kekuatan nasional mereka.
Bagaimana dengan Indonesia, kekuatan nasional apa yang dapat dibanggakan? Dari instrumen yang disampaikan Hans J. Morgentahu, hampir semuanya dimiliki oleh Indonesia, namun kita akan bahas yang menurut saya dalam tataran prioritas, yaitu: Geografi, Sumber Daya Alam dan Militer. Letak geografis Indonesia dari Sabang sampai Merauke merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan pulau–pulau yang dikandungnya. Tidak hanya Indonesia yang dua pertiganya adalah lautan, namun juga planet bumi itu sendiri dua pertiganya juga adalah lautan. sehingga AS dalam A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power, disebutkan ”90% of the world’s commerce travel by sea. The vast majority of the world’s population lives within a few hundred miles of the ocean. Nearly three quarters of the planet is covered by water”. Secara konseptual, Indonesia mengimplementasikan geopolitiknya dalam wawasan nusantara dan geostrateginya dalam konsep ketahanan nasional yang bertumpu pada kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya serta hankam. Dengan kondisi geografis yang sesuai dengan kultur maritim, sangat diperlukan maritime grand strategy yang sejalan dengan konsep pertahanan yang defensif aktif serta fakta yang terlihat bahwa area terluar yang harus dipertahankan adalah lautan. Penerapan strategi maritim adalah untuk mengaktulisasikan kekuatan maritim yang dapat menegakkan kedaulatan negara dari berbagai macam ancaman. Diperlukan angkatan laut yang kuat untuk melaksanakan control of the sea and force projection yang harus didukung pula oleh kekuatan udara untuk melaksanakan control of air. Apabila ini dilaksanakan, deterrence power sebagai salah satu kunci dalam melaksanakan perundingan-perundingan secara politik akan lebih kuat.
Pemberdayaan SDA dengan SDM yang Berkualitas
Sama halnya dengan letak geografis, Sumber Daya Alam (SDA) merupakan salah satu kekuatan nasional yang relatif stabil. Kekayaan yang melimpah khususnya dari pertambangan dan hasil kelautan adalah salah satu modal bangsa yang idealnya dapat diberdayakan guna menjadikan negara ini menjadi negara maju dan modern, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan bargaining power-nya baik dalam kawasan regional maupun internasional. Akan tetapi, yang terjadi adalah kebalikannya. Hasil tambang dan minyak tidak bisa memberikan kemakmuran kepada rakyatnya. Sangat ironis sekali, kenapa Indonesia yang subur ini sebagian rakyatnya masih mengalami kesulitan pangan atau kelaparan karena kekurangan beras? Dimanakah letak kesalahannya? Kemungkinannya adalah sangat minimnya teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Akibatnya, pemberdayaan SDA kita tidak bisa optimal. Dari segi kemampuan menembus pasar internasional, SDM kita menduduki urutan ke–37, sementara untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada urutan ke-45.
Signifikansi Kekuatan Militer bagi Negara
Militer Indonesia pun mengalami pasang surut. Bila di masa lampau, kekuatan militer kita pernah menjadi yang paling disegani di kawasan, namun sekarang Indonesia sepertinya belum bisa mengikuti laju perkembangan pembangunan militer negara-negara di sekitar kita. Negara-negara tetangga kita mampu membeli banyak peralatan militer modern seperti pesawat tempur, kapal selam, dll, dalam jumlah yang sangat besar. Indonesia berusaha mengimbanginya dengan membeli sejumlah pesawat tempur dan alutsista lainnya meski dalam jumlah yang terbatas. Selama ini, sikap dan perilaku beberapa negara di sekitar kita terlihat mulai kurang bersahabat terhadap Indonesia karena mereka merasa memiliki deterrence terhadap Indonesia, yakni dengan mempunyai kekuatan militer yang tangguh dan modern. Pengembangan kekuatan militer sebenarnya bisa dimulai dari ancaman globalisasi. Walaupun ancaman ini bersifat nonmiliter, namun kontradiksi globalisasi sangat membutuhkan kekuatan militer sebagai penjaga kedaulatan negara. Sehingga, para pemangku kebijakan harusnya memahami perimbangan kekuatan militer, tidak terbatas di Asia Tenggara saja, namun juga melibatkan berbagai isu keamanan dunia. Ketika cetak biru pertahanan telah dibangun, berbagai program untuk mendukung tercapainya postur TNI yang kuat dapat digelontorkan. Terdapat dua indikator utama dalam membangun postur TNI, yaitu personel dan alutsista. Pertanyaannya adalah, strategi apa yang paling efektif untuk dikembangkan oleh negara kita guna mengimbangi kekuatan militer negara sekitar?
Dalam buku “Blue Ocean Strategy” dijelaskan bahwa kita tidak harus selalu mengikuti strategi yang dijalankan lawan, tapi kita dituntut bagaimana mengantisipasi sehingga strategi lawan tersebut menjadi tidak efektif. Mengalir dari instrumen kekuatan nasional tersebut di atas, jelas bahwa apalah artinya kekayaan sumber daya yang sangat besar dan melimpah, industri maju dan posisi juga strategis secara geografis, kalau tidak bisa dijaga dan dipertahankan. Dengan kata lain, militer merupakan unsur penting dalam sebuah negara agar bisa menjamin keamanan, kenyamanan dan stabilitas.
SALAM PATRIOT
Saya sangat respect dengan artikel ini, sungguh merupakan fakta keadaan yang saat ini tengah dijalani oleh penghuni nusantara. Namun apapun itu kita harus tetap berusaha yang memberikan yan terbaik bagi Negeri ini. Sebelum saya sedikit urun pendapat guna menanggapi artikel ini, ada petuah jawa yang disampaikan oleh Pangeran Samber Nyawa, pendiri dinasti Mangkunegaran.Saya mengutip dari ajaran Tri Dharma sang pangeran:
“rumangsa handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira hangrasawani”
Saya mengutip tuntunan hidup warisan filsuf Jawa, Sastro Kartono alias Mandor Klungsu, yang berbunyi:
“ngluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake”.
Diplomasi
Diplomasi adalah seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus.
Diplomasi yang paling sederhana dan tertua adalah diplomasi bilateral antara dua pihak dan biasanya merupakan misi dari kedutaan besar dan kunjungan kenegaraan. Jenis lainnya adalah diplomasi multilateral yang melibatkan banyak pihak dan bisa ditelusuri dari Kongres Wina. PBB adalah salah satu institusi diplomasi multilateral. Beberapa diplomasi multilateral berlangsung antara negara-negara yang berdekatan atau dalam satu region dan diplomasi ini dikenal sebagai diplomasi regional, contohnya ASEAN.
Diplomasi Indonesia-Malaysia
Di dunia ini tidak ada satu pun budaya yang sama dan sejenis meskipun ada pada satu area. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan risiko yang fatal berupa disintegrasi dan bahkan peperangan seperti pada cerita di atas. Dewasa ini kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti itu masih sering terjadi ketika bergaul dengan kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah bahwa kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian dan mempergunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya lain. Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, TIDAK BERARTI komunikasi akan berjalan mulus atau bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian di antara keduanya.
Hal ini juga yang mungkin menjadi penyebab seringnya terjadi ”gesekan” antara dua negeri serumpun yaitu Indonesia dan Malaysia, baik dalam persoalan perebutan hak
karya cipta seni dan intelektual, masalah kabut asap, masalah tenaga kerja dan lain-lain. Masing-masing negara merasa yakin telah mengenal satu sama lain karena merasa telah ”serumpun” yaitu melayu, sehingga menganggap mudah segala hal. Padahal mekanisme komunikasi budaya tidaklah semudah itu. Tidak pernah ada dua budaya yang sama persis, meskipun dia ada di satu daerah yang sama. Tengoklah Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya. Meskipun semuanya tinggal di satu daerah, satu rumpun, bahkan mungkin bisa jadi ada pada daerah perbatasan antara dua wilayah. Namun, tidak ada dua budaya atau adat yang sama persis.
Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia dari Kacamata Komunikasi Antarbudaya Sebagaimana di atas bahwa tidak pernah ada budaya yang sama persis, meskipun antara dua orang yang menggunakan bahasa yang sama dan tinggal di rumpun atau wilayah yang sama. Seperti halnya dalam interaksi masyarakat Indonesia dan Malaysia. Meskipun keduanya sama-sama satu rumpun yaitu melayu dan tinggal di wilayah yang sama yaitu Asia Tenggara, bukan berarti komunikasi di antara keduanya akan berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Ketika dua orang atau lebih dari budaya-budaya yang berlainan berkomunikasi, penafsiran keliru atas sandi merupakan pengalaman yang lazim. Komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam konteks komunikasi manapun mulai dari komunikasi antara dua orang, komunikasi massa sampai komunikasi internasional.
Namun sampai sekarang berbagai diplomasi yang dilakukan kedua negara belum terhihat membuahkan hasil yang sesuai dengan aturan internasional (hak-hak atas regulasi Internasional), apalagi kita berharap yang akan menguntungkan bagi negeri ini. Terlepas dari itu semua Diplomat negeri tetap saja terbelenggu oleh kebijakan pemerintahnya, bahwa bagaimana suatu pemerintahan mendapatkan legitimasi internasional (“Negara-negara Berpengaruh”) sehingga akan memiliki posisi tawar pada setiap pembahasan.
Kegagalan diplomasi atau alasan keamanan?
Berbagai persiapan untuk menyambut Abang Obama (abang=panggilan pria di Jakarta) telah dilaksanakan, tapi dengan alasan urusan dalam negeri yang mendesak akhirnya terpaksa jadwal kunjungan Penguasa Negeri Paman Sam terpaksa diundur. Kunjungan Obama pasti menyita perhatian masyarakat Indonesia, apakah itu suatu kesengajaan? Atau apakah penundaan kunjungan Obama adalah salah satu bentuk kegagalan Diplomasi Internasional pemerintah negeri Zamrud ini?
PERANG ADALAH KELANJUTAN DARI POLITIK DENGAN CARA LAIN.
Clausewitz, Jenderal Clausewitz (abad xviii) seorang tentara Francis pada era Napoleon Bonaparte yang dikucilkan oleh negaranya, dan kemudian bergabung dengan Rusia. Setelah Francis dikalahkan oleh Rusia, Clausewitz diangkat sebagai Kepala Sekolah Staf dan Komando Rusia. Pada saat itulah Clausewitz menulis “Vom Kriege”. Dalam bukunya yang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang), Clausewitz berpendapat bahwa “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara yang lain” Sehingga bagi Clausewitz, perang adalah sah-sah saja untuk mencapai tujuan suatu bangsa.
Namun sebelum mengikuti pendapatnya Clausewitz, patut kita pertimbangkan apa yang menjadi rumusan seorang Sun Tzu, “Kenallah lawanmu dan kenallah dirimu sendiri, dalam seratus pertempuran pun kemenanganmu tak akan dalam bahaya; jika engkau tak mengenal lawanmu, tetapi mengenal dirimu sendiri, kalah menangmu seimbang; jika engkau tidak mengenal lawanmu, tidak pula mengenal dirimu sendiri, dalam setiap pertempuran pun kemenanganmu akan selalu dalam bahaya”.
Best regard’
THE PATRIOT
Trima kasih pak dalam sekali ulasannya dari diplomasi sampe teori perang, saya juga mencoba singkat aja hub ri Malaysia:
Hubungan Indonesia Malaysia yang pertama kali dikenal dalam konstelasi politik regional, diawali dengan konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Persamaan rumpun (melayu), sejarah, letak geografis serta persamaan bahasa yang sama tidak menjadikan Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan yang sangat baik dan berlangsung secara harmonis, bahkan hubungan Indonesia sangatlah buruk ketika itu. Perbedaan sejarah kolonialisasi membuat Rezim Soekarno atas ketidakpuasan terbentuknya negara Malaysia pada dekade tahun 1960an. Penyebarluasan imperialisme barat yang dinilai Soekarno memberikan pengaruh negatif terhadap kelangsungan negara-negara Asia Tenggara akhirnya membentuk suatu persepsi dan hubungan yang kurang baik dengan Malaysia.
Pemulihan Hubungan Indonesia-Malaysia atas konfrontasi yang dibuat oleh Soekarno, diakhiri pada tahun 1967 dan sekaligus menggantikan posisi pemerintahan Soekarno yang jatuh karena pemberontakan G-30S PKI, kemudian berganti menjadi pemerintahan Soeharto yang sekaligus merupakan awal mula dari pemerintahan Orde baru ini. Upaya menggalakkan pemulihan hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia pada khususnya dan Indonesia-PBB pada umumnya dicerminkan melalui kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB.
Akan tetapi, perjalanan hubungan diplomatik antarnegara bertetangga memang tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Utamanya Indonesia belakangan ini gencar disinggung oleh klaim budaya melalui propaganda pariwisata Malaysia. Kemudian, isu Terorisme yang gencar dibicarakan. Isu-isu perbatasan wilayah Ambalat, penampungan kayu-kayu dan illegal logging, penyelundupan BBM dan sebagainya sehingga hubungan kedua negara tersebut sangat kurang harmonis di tambah lagi masalah TKI kita yang sering di lecehkan. Malaysia dinilai sebagai bangsa yang sangat melecehkan Indonesia bahkan menginjak-injak harga diri Indonesia. Dari hal inilah terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia tidak berjalan secara harmonis dan tidak mencerminkan suatu hubungan timbal-balik dalam lingkup geografis yang dapat menghasilkan kerjasama dari sektor perekenomian maupun militer.
ini dulu pak balasan dari saya,,
trima kasih
salam kebangsaan
Just slm
Terimakasih atas tanggapan bapak.
salam kebangsaan.
wah,,,ulasan yang menarik,,,,
patut kita melihat kedalam sejenak sebelum kita bersama-sama mewujudkan Green Water Navy, terutama bagi para decision maker…
bagaimanakah pembangunan kekuatan Green Water Navy dipandang oleh decision maker? apakah sekedar untuk menyamakan dengan negara tetangga??? atau sebagai penguatan kekuatan pertahanan keamanan laut yang berarti penyelundupan dan maling yang berkurang serta sebagai salah satu nilai tawar dalam proses diplomasi???
alangkah sayang kalau Green Water hanya dipandang sebagai sebuah pencapaian/milestone tanpa melihat konsekuensi logis yang didapat dari pencapaian tersebut
apalah artinya kapal baru dan canggih jika ada kerusakan harus menunggu tahun anggaran depan karena DIPA sudah masuk ke kementrian sehingga masuk usulan pengadaan tahun depan, itu pun kalau disetujui….dimanakah nilai strategis jika semuanya dibuka terang-terangan dsb….
yak, saya setuju jika salah satu KASAL dahulu berkata kita butuh anjing herder,,tapi patut diperhatikan anjing herder tentu butuh perhatian lebih daripada anjing kampung….
mohon ijin nimbrung ndan
salam dari kota pelajar
Salam Kenal Juga mas Prima
Suatu pemikiran yang inspiratif dari mas semoga bangsa ini tumbuh cepat dengan pemikirian pemikiran dari intelektual yang tanggap terhadap kondisi pertahanan kita,,
Dibutuhkan Political will ytang kuat dari pemerintah serta Ocean Leadership yang mantap untuk pembangunan bangsa ini, sehingga tidak hanya wacana yang di keluarkan namun diiringi dengan kemampuan Pemimpin dalam mengaplikasikan apa yang telah di cetakkan,,
Trima Kasih Mas,, Selamat Belajar dan Semoga Bangsa ini cepat tumbuh kesadarannnya akan habitatnya
Saya tak mampir juga ke blog mas ya
Salam Kebangsaaan
just slm
dear all
Thank u for delivering your message
really appreciated
best regard