• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Books
  • articles
  • Multimedia
  • Interviews
  • Talks
  • Letters
  • Events
  • Khazanah
  • Bios
  • About

RAJA SAMUDERA

Laman Resmi Kolonel Laut (P) Salim

March 19, 2010

Sail Bunaken 2009: Slogan, Seremonial ataukah Tonggak Kejayaan Bangsa Maritim?

“Geopolitical Destiny dari Indonesia adalah maritim,” kalimat tersebut diucapkan oleh Bung Karno pada saat pembukaan Lemhanas tahun 1965. Bung Karno sering mengulangi istilah Jasmerah yang juga sepadan dengan ucapan seorang filsuf India Santayana, yang menyatakan bahwa “mereka yang lupa akan masa lalu atau sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya lagi”.

Kejayaan Nusantara sebagai bangsa maritim pada masa lampau diperoleh karena kemampuan mereka membaca dan mengimplementasikan potensi yang mereka miliki. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis Nusantara telah membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain pada eranya.

Nampak di pelupuk mata wilayah negeri ini 2/3-nya berupa lautan. Bentangan pantainya merupakan pantai terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang 81.000 km. Dengan luas laut 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2 dan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta km2 dengan bertabur untaian pulau-pulau yang tertata sekitar 17.400 pulau menjadikan bangsa ini sebagai negara dengan laut terluas di dunia. Mari kita bayangkan dalam satu tahun 365 hari jumlah pulau kita sebanyak 17.400 buah, sehingga butuh waktu sekitar 46 tahun untuk menginjakkan kaki kita pada pulau -pulau yang ada di Indonesia tiap hari.

Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah selama ini lebih bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya daratan (continental orientation) dan memarginalkan sumberdaya lautan (maritime orientation). Fakta nyatanya adalah bahwa hutan–hutan yang ada di Nusantara semakin terkikis, seiring dengan perhitungan 200 tahun lagi batu bara, minyak dan gas bumi kita pun juga akan habis. Konon yang katanya negara agraris yang miskin malah petaninya. Sumber daya lautan belum sepenuhnya tersentuh. Bisakah kita memperkirakan kapan isi kandungan ikan yang ada di lautan Nusantara habis? Tanyakan pada ombak yang berderu. Akibatnya, sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor pinggiran / peripheral. Fenomena kemiskinan pada wilayah pesisir yang merupakan wilayah kantong pemukiman masyarakat nelayan, seakan semakin mengukuhkan bahwa masyarakat nelayan tersebut menjadi poorest of the poor. Seyogyanya permasalahan ini tidak terjadi, karena mereka hidup di tengah-tengah kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Lebih daripada itu, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002, dilecehkannnya kedaulatan NKRI di perbatasan perairan Karang Unarang oleh Malaysia yang dimulai sejak lepasnya Sipadan Ligitan yang hingga kini belum ada titik temu penyelesaiannya telah menorehkan luka yang amat dalam di seluruh jiwa masyarakat Indonesia, dan ini membuktikan rapuhnya visi kemaritiman atau kebaharian serta belum adanya ocean leadership dalam sistem pemerintahan NKRI. Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini memiliki visi pemerintahan yang dapat mengembalikan arus peradaban kejayaan Nusantara sebagai bangsa maritim sebagaimana yang sudah pernah wujud di masa lampau.

Sail Bunaken 2009

Perhelatan akbar bertaraf internasional digelar di Manado ini terbingkai rapi dalam berbagai acara seperti Indonesian Fleet Review, Yacht Rally, Bunaken Expo and Festival, International Big Game Fishing, Diving Competition and Festival, International Sea Food Festival, dan Bunaken Trans Equatouring Celebes 2009. Kegiatan khusus dalam rangkaian Sail Bunaken yaitu dipecahkannya rekor dunia Guinness World Record yaitu selam massal yang dikemas dalam upacara dalam rangka memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-64.

Puncak dari acara tersebut dikemas dalam International Fleet Review 2009 dimana kegiatan tersebut memiliki banyak nilai strategis, di antaranya membangun kekuatan maritim sekaligus memupuk jiwa dan semangat bahari masyarakat Indonesia. Kita patut merasa bangga dengan berhasilnya event –yang menurut Metro TV- adalah event maritim terbesar pada abad 21 tersebut. Namun di sisi lain apakah perhelatan akbar tersebut sesuai dengan instrumen-instrumen potensi maritim yang dimiliki oleh bangsa ini?

  • Berapa persen kemampuan pelayaran niaga kita untuk mengangkut ekspor dan impor dari dan ke Indonesia? Kemampuan negara kita masih 3 persen, selebihnya dilaksanakan oleh pelayaran asing.
  • Berapa persen industri perikanan dibandingkan dengan industri lain dalam memberikan devisa kepada negara?
  • Berapa persen industri maritim atau perkapalan yang dihasilkan oleh negeri ini?
  • Berapa persen hasil pengeboran minyak lepas pantai yang bisa masuk ke Indonesia? Hampir 90 persen dikuasai perusahaan asing dengan sistem bagi hasil.
  • Berapa persen kekuatan Angkatan Laut khususnya jumlah KRI yang siap operasi dibandingkan dengan luas wilayah NKRI?

Sebagai pembanding, catatan penulis: TNI AL sebagai anggota Western Pacific Naval Symposium (WPNS) sudah pasti akan mengikuti kegiatan Fleet Review baik mengirimkan kapal perang ataupun delegasi. Tahun 1995, Indonesia pernah menyelenggarakan Fleet Review dengan dihadiri oleh Presiden Soeharto, bahkan di Manado pun sebelumnya pernah di adakan Fleet Review dalam rangka Visit Indonesia Year 1999 dengan dihadiri oleh Presiden BJ Habibie. Pada waktu itu, penulis onboard pada HMAS Sydney. Tahun 2000, penulis mengikuti Fleet Review di New York, Amerika Serikat, dengan onboard pada RSS Endurance dalam rangka Independence Day yang dihadiri oleh Presiden Bill Clinton. Terakhir pada bulan Juni 2009, penulis onboard KRI Hasanuddin – 366 mengikuti International Fleet Review dalam rangka kemerdekaan Republik Korea Selatan di Busan dan dihadiri oleh Presiden Korea Selatan.

Namun, bagaimana halnya dengan Fleet Review di Sail Bunaken 2009 ini? Apakah peristiwa yang dikatakan Metro TV sebagai event maritim terbesar pada abad ke-21 ini dihadiri oleh Presiden? Bukan suatu keharusan atau keistimewaan atau bahkan kemewahan, namun keinginan peserta apabila diinspeksi selalu menanyakan, “Who is he?”, dan selalu pada even Fleet Review jawaban yang umum adalah, “Mr.President” karena biasanya yang menginspeksinya memang Presiden atau Kepala Negara.

Pada event semacam Fleet Review inilah, sebenarnya Ocean Leadership suatu negara dapat disimak. Dapat terbaca sejauh mana negara itu menunjukkan kepedulian kepada aspek maritimnya. Kesimpulan penulis dari setiap kegiatan Fleet Review yang diselenggarakan di berbagai negara, kemasan acara memang disesuaikan dengan mengaktualisasikan kekuatan maritim yang dimiliki oleh negara tersebut.

Visi Maritim Indonesia

Pada hakekatnya perkembangan visi maritim dimulai saat manusia mengenal adanya kapal layar yang digunakan untuk perdagangan antar negara. Indonesia sebagai Archipelagic State (negara kepulauan) tentunya tidak bisa dipisahkan dari konsep kekutan maritim atau kekuatan laut. Teori Mahan dalam konsep kekuatan laut dengan pendekatan sejarah mengatakan “Sumber kekuatan di laut di antaranya posisi geografis, bentuk fisik dan yang terkait dengan produksi sumberdaya alam dan cuaca, karakter penduduknya dan sifat pemerintahannya”. Indonesia kaya akan sumber daya alam. Secara cuaca, kita lebih dikenal dengan the best sailing passege in the world. Pertanyaannya, apakah karakter penduduknya telah menunjukkan identitas sebagai bangsa maritim? Apakah pemerintahannya memiliki visi maritim dan ocean leadership?

Sail Bunaken 2009 merupakan secercah harapan masyarakat Indonesia akan kebangkitan sebagai bangsa maritim. Namun sekali lagi, perhelatan atau momentum besar tersebut hanya akan menjadi slogan dan seremonial biasa serta hanya sebagai formalitas mana kala visi maritim belum bisa diwujudkan sebagai mainstream bagi negara Indonesia. Tidak mudah untuk mewujudkannya, namun tidak mudah tersebut bukan berarti tidak bisa. Kendala terbesar adalah Paradigma. Paradigma Continental Orientation sangat melekat kuat pada masyarakat Indonesia, begitu pula pada sistem pemerintahannya. Bingung akan jati dirinya yang menyebabkan kerancuan identitas tanah air. Belum pernah ada kebijakan pemimpin negara kita yang menyatakan “Track Utama Pembangunan Nasional adalah pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya kelautan”.

Terlihat bahwa kegiatan Sail Bunaken 2009 telah melibatkan banyak instansi seperti: Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, TNI AL dan lain–lain. Kesemua ini apabila tidak diimbangi dengan satu visi maritim yang sama maka akan ditemukan banyak kendala di lapangan. Oleh karena itu, untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam visi maritim, kita harus menunjukkan dan memperjelas jati diri bangsa sebagai Archipelagic State yang memiliki strategi maritim yang mampu untuk keluar dari paradigma continental orientation ke arah paradigma maritime orientation secara rasional dan berwawasan modern dan global.

Kesimpulan

Sekuat–kuatnya katak, yuyu atau kura–kura hidup di daratan, mereka akan lebih bisa hidup bila kembali ke air karena itulah kodratnya. Sangat diperlukan political will yang cerdas dan modern dalam mengimplementasikan kemaritiman kita sebagai bangsa yang besar, yang memiliki visi maritim dan Ocean Leadership.

Dengan bercermin pada identitas diri bangsa secara jernih, maka kebijakan pemerintah dalam pembangunan bangsa ke depan harus berbasiskan pada kodrat yang telah diberikan Tuhan kepada bangsa ini, seperti apa yang dikatakan oleh Bung Karno yaitu sebagai bangsa maritim. Semoga kebanggaan sebagai bangsa maritim benar-benar dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia dan bukan hanya ilusi.

Share this:

  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to print (Opens in new window)

Reader Interactions

  • Facebook
  • Twitter
  • YouTube

COPYRIGHT © 2010 - 2019 RAJA SAMUDERA