Nenek moyangku orang pelaut gemar mengarung luas samudera….. Selanjutnya ada kah penggalan nyayian “Nenek moyangku orang petani gemar mencangkul di sawah sawah” ya memang tidak ada karena itulah fakta historis bangsa ini sebagai bangsa bahari, bangsa maritim, Negara Kepulauan yang mendapat sebutan the bigest Archipelagic State in the world.
Marilah kita buka hati dan mata kita lebar lebar sebuah fakta yang hidup di negeri bahari : Apakah lantaran miskin terus jadi nelayan ataukah jadi nelayan terus jadi miskin? Untaian kalimat ini bukan hanya Sanepo, atau peribahasa serta ataukah sebuah kiasan, atau rangkain ilmu sosial, yang jelas dan kita rasakan berapa juta nelayan yang miskin dari total jumlah nelayan yang ada di negara kita yang katanya negara bahari, negara maritim thus negeri yang kaya akan hasil sumber daya lautnya, tetapi siapakah yang kaya?.
Sudut sudut Kemiskian
Saat kapalku lego dan turun ke kampung nelayan, tak henti hentinya hati ini menangis melihat rumah yang dihuni warga terlihat reyot, lantai dan dinding yang bolong serta atap rumah yang serba bocor.
Bangunan rumah yang berada ditengah-tengah pemukiman warga, banyak terlihat berlantai tanah, berdinding tepas dari bambu dan beratapkan daun rumbia membuat pemandangan mata yang melihat tidak sedab, bahkan bila di hayati setiap manusia pasti akan meneteskan air mata. Selain itu juga, jika melihat rumah tersebut, masih ada terdapat rumah yang di huni masyarakat itu, ada yang kelihatan menggunakan penyokong pembantu rumah yang terbuat dari kayu/broti, Agar rumah tersebut tidak tumbang dan runtuh dari kondsi bangunannya.
“Terkadang jika melaut kami bisa mendapatkan Nafkah rezeki sebagai pencari ikan paling tinggi, saat ini hanya bisa mendapatkan hasil kerja kami sebesar Rp.20 ribu. Terkadangpun jika melaut, kami juga tidak mendapat kan hasil ke untungan, karena tingginya biaya minyak untuk kelaut. Sering menombok ketimbang mendapatkan ke untungan. Apalagi dari hasil melaut yang kami harapkan dan yang kami dambakan kelak, suatu masa bisa membangun rumah yang kami ingin-inginkan seperti rumah- rumah yang terbuat dari bangunan berbatu (rumah gedung). Syukur saja ini, kami bisa membesarkan anak-anak kami di rumah gubuk yang reok ini. Kami tidak tau harus berbuat apalagi untuk mencari nafkah yang benar selain melaut”, nelayan tersebut dengan nada pilu. Terus terang apa yang bisa kusumbangkan saat itu kuberikan sambil membeli kambing untuk makan dengan harga yang kita lebihi untuk kepentingan mereka. Karena tidak banyak yang di perbuat kecuali membantu mereka.
Fakta
Pada saat ini armada perikanan tangkap di dominasi armada tradisional, mencakup: perahu tanpa motor 50%, motor tempel 26% dan kapal motor kurang dari lima GT sebanyak 16% jadi total sekitar 90%. Jumlah armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap katagori armada terdiri dari jumlah nelayan yang berbeda. Diperkirakan jumlah nelayan dibawah lima GT sebanyak 1,3 juta jiwa atau 66%. Sulit untuk mengatakan bahwa nelayan dibawah lima GT pasti miskin, atau diatas lima GT pasti tidak miskin. Nelayan perahu tempel yang menangkap ikan kerapu tebntu hasilnya relatif lebih baik dari seorang ABK biasa yang ikut di kapal 50 – 100 Gtselama 40 Hari. Jadi alat tangkap belum bisa menjadi indikator kemiskinan.
Tidak adanya data kemiskinan nelayan ini mempersulit pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik. Tanpa adanya instrumen pengukuran kemiskinan nelayan secara reguler, maka sulit pula mengukur keberhasilan program pembangunan perikanan yang katanya pro-poor. Dampak yang langsung terasa adalah apabila kenaikan BBM sudah miskin tetap aja gak ada kompensasi harga BBM yang di gunakan untuk mencari nafkahnya. Pemerintah harus segera memperhatikan kemiskinan nelayan ini.
Dengan Cara Apa?
1. Laksanakan Aspek Permodalan dengan Penyaluran yang tepat.
2. Penuhilah kebutuhan Energi untuk perikanan khususnya para nelayan kecil bukan untuk pengusaha pengusaha ikan yang besar.
3. Laksanakan Diversifikasi teknologi penangkapan ikan (Kalau mau jelas ya jabarkan sendiri)
Akhirnya Apakah pemerintah masih menganggap nelayan bukan pilar pilar yang penting bagi bangsa Indoensia sehingga mereka terus bergelimang dengan penderitaan dan kemiskinan di dalam negeri yang lautnya kaya akan sumber daya alam. Ataukah kita semua telah pikun bahwa kita Negeri Bahari. Nenek ku juga orang Pelaut