Apabila eskalasi konflik makin memanas, Laut Tiongkok Selatan (LTS) dapat menjadi trouble spot kedua di dunia, setelah Timur Tengah. Situasi ini dapat memicu terjadinya Perang Dunia III atau pemicu tetap konflik Timur Tengah (Suriah) dan merembet ke LTS.
Amerika Serikat akan terus memainkan peranannya sebagai penyeimbang kekuatan di LTS dengan luas wilayah 3,5 juta kilometer persegi dan mengandung 10 persen tangkapan ikan global serta 60 persen perdagangan dunia atau senilai US$ 5 triliun per tahun.
Keseimbangan politik dan keamanan di kawasan ini menjadi sangat vital dengan kehadiran negara-negara major power, khususnya Amerika yang memiliki kepentingan di LTS. Sementara Tiongkok tetap bersikukuh dengan peta The nine-dash line tahun 2009, di mana RRT menyatakan telah memiliki Sovereignty over the islands and their adjacent waters. Untuk memperkuat klaim tersebut, RRT telah melakukan military build-up di kawasan.
Melihat situasi terkini, dengan politik bebas aktif, memberikan ruang bagi Indonesia sebagai balancing power di kawasan untuk membangun kerja sama dengan negara-negara lain dan memelihara kondisi politik dan keamanan, sekaligus menciptakan power equilibrium di kawasan LTS maupun dalam perspektif global.
Indonesia dapat mendorong negara-negara internasional untuk aktif mencegah eskalasi, karena konflik akan dapat mengganggu keselamatan pelayaran dan perdamaian dunia.